Konsep Media

Konsep Media

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan sebagainya. Dalam National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad ke–20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.

Terdapat banyak definisi media oleh ahli-ahli terkemuka seperti Bretz, Gerlach & Elly, dan AECT (Association for Educational Communication and technology). Media pembelajaran adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang memungkinkan pebelajar menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap, dengan kata lain bahwa guru/ dosen, buku ajar, lingkungan adalah media pembelajaran. Setiap media merupakan saran untuk mencapai tujuan. Didalamnya terkandung informasi yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Informasi ini mungkin didapatkan melalui buku, internet, rekaman, film, mikro film, dsb. Media pembelajaran terdapat dua unsur, yakni perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Sepanjang sejarah, media dan teknologi untuk pembelajaran telah berpengaruh terhadap pendidikan. Seperti saat ini misalnya, komputer telah menginvasi seting pembelajaran. Setiap alat menawarkan kemungkinan yang luar biasa untuk meningkatkan proses pembelajaran (Robert Heinich at. al., 1996: 8).

Dalam pengertian teknologi pendidikan, media atau bahan sebagai sumber belajar merupakan komponen dari sistem pembelajaran di samping pesan, orang, teknik latar dan peralatan. Pengertian media ini masih sering dikacaukan dengan peralatan. Media atau bahan adalah perangkat lunak (software) berisi pesan atau informasi pendidikan yang biasanya disajikan dengan menggunakan peralatan. Peralatan atau perangkat keras (hardware) merupakan saana untuk dapat menampilkan pesan yang terkandung pada media tersebut (Arief S. Sadiman dkk, 2006: 19).

Agar lebih jelas lagi perlu juga dikemukakan konsep lain yang sangat berkaitan dengan media pembelajaran, yaitu sumber belajar. Konsep sumber belajar memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu semua sumber (baik berupa data, orang, benda) yang dapat digunakan untuk memberi fasilitas/kemudahan belajar bagi peserta didik. Sumber belajar meliputi: Pesan (ide, fakta, data, ajaran, informasi, dll), Orang (guru, dosen, instruktur, widyaiswara, dll), Bahan (buku teks, modul, transparansi, kaset program audio, film, program CAI/CBI, dll), Alat (OHP, komputer, tape recorder, CD player, dll), Teknik (praktikum, demonstrasi, diskusi, tutorial, pembelajaran mandiri, dll), Lingkungan (gedung sekolah, kebun, pasar, dll)

 

  1. Landasan Teoretis Penggunaan Media

Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan, perubahan-perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang pernah dialami sebelumnya. Menurut Brunner dalam Arsyad (2004: 7) ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman langsung (enactive), pengalaman piktorial/gambar (ionic), dan pengalaman abstrak (symbolic). Pengalaman langsung adalah mengerjakan, misalkan arti kata ‘simpul’ dipahami dengan langsung membuat ‘simpul’. Pada tingkatan kedua yang diberi label ionic (artinya gambar atau image), kata ‘simpul’ dipelajari dari gambar, lukisan, foto atau film. Meskipun siswa belum pernah mengikat tali untuk membuat ‘simpul’ mereka dapat mempelajari dan memahaminya dari gambar, lukisan, foto, atau film. Selanjutnya, pada tingkatan simbol, siswa membaca (atau mendengar) kata simpul dan mencoba mencocokkan dengan ‘simpul’ pada image mental atau dengan pengalamannya, ini saling berinteraksi dalam upaya memperoleh ‘pengalaman’ (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang baru.

Agar proses belajar-mengajar dapat berhasil dengan baik, siswa sebaiknya diajak memanfaatkan semua inderanya. Guru berupaya menampilkan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera. Semakin banyak alat indera yang digunakan untuk menerima dan mengolah informasi semakin besar kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dapat dipertahankan dalam ingatan. Dengan demikian, siswa diharapkan akan dapat menerima dan menyerap dengan mudah dan baik pesan-pesan dalam materi yang disajikan.

 

  1. Konsep Media, Alat Peraga, dan Media Komunikasi Pembelajaran

Komunikasi yang efektif tergantung pada partisipasi penerima. Orang akan bereaksi dengan jawaban, pertanyaan atau tindakan. Dengan bantuan sistem syarat, pesan itu dapat diterima dan dimengerti oleh penerima pesan. Penerima akhirnya mengirimkan kembali pesan yang telah diolah sebagai umpan balik (feedback) yang dapat berbentuk kata, ekspresi, atau gerakan tangan. Dari feedback ini pengirim dapat mengetahui apakah komunikasi berlangsung dengan efektif atau tidak. Ada gangguan atau tidak selama komunikasi berlangsung. Gangguan itu harus dicari oleh manusia sumber agar dapat diadakan perbaikan sesuai dengan maksud pesan (Kemp, 1985: 12).

AECT (Association of Education and Communication Technology, 1977) memberikan batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, menurut Fleming dalam Arsyad (2004: 3) media yang sering diganti dengan kata mediator adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator, media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar, siswa dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem pengajaran yang melakukan peran mediasi, mulai dari guru sampai kepada peralatan paling canggih, dapat disebut media. Ringkasnya, media adalah alat yang menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran.

Acapkali kata media digunakan secara bergantian dengan istilah alat bantu atau media komunikasi seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1994) bahwa hubungan komunikasi akan berjalan lancar dengan hasil yang maksimal apabila menggunakan alat bantu yang disebut media komunikasi. Dengan kata lain, media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Ciri-ciri umum yang terkandung pada setiap batasan media:

  1. Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware, yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindera.
  2. Media pendidikan memiliki pengertian nonfisik yang dikenal sebagai software, yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupakan isi yang dngin disampaikan kepada siswa.
  3. Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio.
  4. Media pendidikan memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
  5. Media pendidikan digunkaan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
  6. Media pendidikan dapat digunakan secara massal (misalkan: radio, televisi), kelompok besar dan kelompok kecil (misalkan film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalkan: modul, komputer, radio tape/kaset, video recorder).
  7. Sikap, perbuatan organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan suatu ilmu.

Konsep Pembelajaran

Konsep Pembelajaran

Komunikasi antara siswa dan guru dipengaruhi oleh komponen seperti tujuan belajar, materi pelajaran, metode mengajar, sumber belajar, media belajar, manajemen interaksi belajar, evaluasi belajar, anak yang belajar, guru yang mengajar, dan pengembangan dalam proses belajar. Uno (2007: 54) menyatakan bahwa pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara peserta belajar dengan pengajar/ instruktur dan atau sumber belajar pada suatu ingkungan belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Dalam proses pembelajaran, prinsip utamanya adalah adanya proses keterlibatan seluruh atau sebagaian besar potensi diri siswa dan kebermaknaanya bagi diri dan kehidupannya saat ini dan masa yang akan datang.

Pelaksanaan pembelajaran membutuhkan suatu proses yang aktif untuk memperoleh pengalaman atau pengetahuan yang baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku. Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Konsep Pengajaran yang perlu diketahui:

  1. Pengajaran merupakan satu proses penyampaian ilmu pengetahuan
  2. Pengajaran berkesan Merancang topik, objektif, isi, cara penyampaian dan penilaian yang sesuai dengan kebolehan sedia ada dan minat pelajar
  3. Pengajaran merupakan satu tindakan yang bertujuan untuk membawa perubahan dari segi kepercayaan, nilai dan makna
  4. Pengajaran merupakan aktiviti intelek
  5. Ia melibatkan pemikiran, perasaan, dan penilaian
  6. Pengajaran merupakan satu sistem aktiviti yang ditujukan kepada pelajar-pelajar dengan harapan akan membawa perubahan tingkah laku dikalangan mereka
  7. Terdapat dua jenis pengajaran  iaitu pengajaran terkini dan tradisional
  8. Dalam pengajaran terkini, terdapat  pengajaran  yang memusatkan kepada murid
  9. Dalam pengajaran tradisional, pengajaran memusatkan kepada guru

Pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.

Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menginisiasi, memfasilitasi dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar, maka kegiatan pembelajaran berkaitan erat dengan jenis hakikat dan jenis belajar serta hasil belajar tersebut. Pembelajaran harus menghasilkan belajar, tapi tidak semua proses belajar terjadi karena pembelajaran. Karena proses belajar juga bisa terjadi dalam konteks interaksi sosial, kultural dalam lingkungan masyarakat. Pembelajaran dalam konteks Pendidikan Formal, yakni pendidikan di sekolah, sebagian besar terjadi di kelas dan lingkungan sekolah. Sebagian kecil pembelajaran terjadi juga di lingkungan masyarakat, misalnya pada kegiatan ko-kulikuler (kegiatan di luar kelas dalam rangka tugas suatu mata pelajaran), ekstra-kulikuler (kegiatan di luar mata pelajaran, di luar kelas) dan ekstramural (kegiatan dalam rangka proyek belajar yang diselenggarakan di luar sekolah, seperti kegiatan perkemahan sekolah). Dengan demikian proses belajar bisa terjadi di kelas, dalam lingkungan sekolah dan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bentuk interaksi sosial kultural melalui media masa dan jaringan.

Dalam konteks pendidikan nonformal, justru sebaliknya proses pembelajaran sebagian besar terjadi dalam lingkungan masyarakat, termasuk dunia kerja, media masa dan jaringan internet. Hanya sebagian kecil saja pembelajaran terjadi di kelas dan lingkungan pendidikan nonformal seperti pusat kursus. Proses belajar dan pembelajaran bisa terjadi dimana saja, kapan saja tidak dibatasi oleh jarak, ruang dan waktu. Konsep Dasar Pembelajaran telah dirumuskan dalam Pasal 1 (satu) butir 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dalam konsep dasar tersebut terkandung 5 konsep, yakni interaksi, peserta didik, pendidik, sumber belajar dan lingkungan. Selain konsep tersebut, ciri lain dari pembelajaran adalah adanya komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Komponen-komponen tersebut adalah:

  1. Tujuan pembelajaran, mengacu pada kemampuan atau kompetensi yang diharapkan dimiliki peserta didik setelah mengikuti pembelajaran tertentu;
  2. Materi pembelajaran, yaitu segala sesuatu yang dibahas dalam pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
  3. Kegiatan pembelajaran, mengacu pada penggunaan pendekatan strategi, metode, dan teknik serta media dalam membangun proses belajar dan pengalaman belajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara optimal;
  4. Evaluasi pembelajaran.

Proses pembelajaran dalam arti yang luas merupakan jantungnya dari pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka pencerdasan kehidupan bangsa. Ada banyak sekali konsep pembelajaran yang diterapkan khususnya di Indonesia. Salah satunya konsep pembelajaran konstekstual yang dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip pembelajaran. Konsep pembelajaran yang konstekstual ini merupakan pembelajaran aktif antara guru dan siswa, di dalam konsep pembelajaran konstekstual ada unsur-unsurnya:

  1. Constructivisme: Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki. Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuannya itu.
  2. Inquiry: Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, dan menarik simpulan. Langkah-langkah inkuiri dengan merumuskan masalah, melakukan  observasi, analisis data, kemudian mengomunikasikan hasilnya. Inquiri merupakan pembelajaran untuk dapat berpikir nyata dan kritis dalam menyikapinya. Biasanya untuk inkuiri ini berbentuk kasus untuk dianalisis berdasarkan teori yang ada.
  3. Questioning: Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik; menggali informasi tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik. Berguna bagi peserta didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar. Jika pertanyaan bagus maka akan memberikan rasa ingin tahu kepada peserta didik.
  4. Learning Community: Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif. Belajar dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang.
  5. Modelling: Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara menggali informasi, demonstrasi, dan lain-lain. Pemodelan ini dapat dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.
  6. Reflection: tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari. Sehingga ada respon terhadap kejadian, aktivitas/pengetahuan yang baru. Hasilnya nanti merupakan konstruksi pengetahuan yang baru. Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya yang dapat memberikan imbal balik.
  7. Autentic Assesment:Yaitu menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Hal ini berlangsung selama proses pembelajaran secara terintegras. Pada unsur ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yaitu test dan non-test. Alternative bentuk yang dapat dilakukan kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal

Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran lain daripada konsep pembelajaran konstektual yaitu “Student Centered Learning” yang intinya yaitu: Kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya, Seseorang akan belajar secara signifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/ menumbuhkan “self”nya, Manusia tidak bisa belajar kalau berada dibawah tekanan, Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/ pendapat difasilitasi/ diakomodir.

Banyak pengajar yang mempraktekkan sesuka dirinya sehingga jika dikatakan seorang pengajar itu hanya menggunakan satu konsep, itu merupakan pernyataan yang salah. Banyak para pengajar yang menggunakan kombinasi berbagai konsep. Hal ini agar menunjang pembelajaran yang baik dan agar bisa di mengerti oleh siswanya dengan baik. Ketika seorang pengajar menggunakan konsep terdiri hanya satu itupun sebenarnya tidak salah, karena banyak sekali pengajar yang mengajar dengan konsep sama tetapi terjadi perbedaan di teknik-teknik pembelajarannya. Maka haruslah dimengerti untuk konsep ini bebas dilakukan oleh pengajar apakah memilih satu atau dua konsep.

Konsep pembelajaran adalah mengorganisasikan aktivitas siswa dalam arti yang luas. Peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi tetapi juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang social ekonominya dan lain sebagainya.

Bahan pelajaran dalam proses pembelajaran hanya merupakan perangsang tindakan pendidik atau guru, juga hanya merupakan tindakan memberi dorongan dalam belajar yang tertuju pada pencapaian tujuan belajar. Antara belajar dan mengajar dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang terpisah atau bertentangan. Justru proses pembelajaran adalah merupakan aspek yang terintegrasi dari proses pendidikan. Kombinasi faktor-faktor ini ditambah dengan focus yang utama pada seluruh otak akan membuat para siswa belajar lebih efektif dan mudah menyerap serta memahami dengan cepat materi yang disampaikan oleh pendidik. Belajar yang efektif tentunya harus menyenangkan, belajar adalah kegiatan seumur hidup yang dilakukan dengan menyenangkan dan berhasil. Sehingga harus ditunjang dengan lingkungan yang menyenangkan.

Ruang Lingkup Modifikasi Tingkah Laku Anak

Ruang Lingkup Aplikasi Modifikasi Perilaku

Perilaku dapat dikurangi atau dihilangkan. Bahkan perilaku, yang baru terbentuk pun dapat dikurangi atau juga dihilangkan. Secara sederhana pengurangan dan penghapusan perilaku dilakukan dengan cara memberikan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi si subjek bila perilaku yang akan dihilangkan atau dihapuskan muncul. Ada dua pertimbangan yang perlu dipikirkan oleh modifikator perilaku dalam mengurangi dan menghapuskan perilaku, yaitu ketepatan pilihan stimulus atau respons dan kesegaran. Ketepatan pemilihan stimulus atau respons adalah kesesuaian stimulus atau respons yang akan digunakan untuk menghapuskan dan atau menghilangkan perilaku. Pertimbangan ketepatan didasarkan pada kondisi subjek dan situasi lingkungan dimana perilaku tersebut muncul.

  1. Cacat Perkembangan

Orang dengan cacat perkembangan seringkali belum dapat mengembangkan perilaku yang tepat, sehingga modifikasi perilaku bisa digunakan untuk mengajarkan berbagai keterampilan fungsional untuk mengatasi hal ini (Krik, 1993). Di samping itu, orang-orang dengan cacat perkembangan mungkin menunjukkan masalah serius dalam berperilaku seperti perilaku yang merugikan diri sendiri, perilaku agresif, dan perilaku merusak. Sebuah penelitian dalam modifikasi perilaku menunjukkan bahwa perilaku ini sering dapat dikontrol atau dihilangkan dengan memberikan intervensi pada perilaku (Barret, 1986; van Houten & Axelrod, 1993; Whitman, Scibak, &, 1983).

  1. Penyakit Mental

Modifikasi perilaku telah diterapkan pada pasien dengan penyakit mental kronis untuk memodifikasi perilaku tersebut sebagai keterampilan hidup sehari-hari, perilaku sosial, perilaku agresif, kepatuhan pengobatan, perilaku psikotik, dan keterampilan kerja (Scotti, mcMorrow, & Trawitzki, 1993). Salah satu kontribusi penting dari modifikasi perilaku adalah pengembangan prosedur motivasi bagi pasien dalam kelembagaan yang dikenal sebagai token ekonomi (Ayllon & Azrin, 1968). Token ekonomi masih banyak digunakan dalam berbagai setting pengubahan perilaku (Kazdin, 1982).

  1. Pendidikan

Prosedur modifikasi perilaku telah digunakan dalam pendidikan untuk meningkatkan teknik pengajaran dan meningkatkan pembelajaran siswa (Michael, 1991). Dalam pendidikan khusus, yaitu pendidikan dengan orang-orang cacat di dalamnya, modifikasi perilaku telah memainkan peran utama (Rusch, Rose, & Greenwood, 1988) dalam mengembangkan metode pengajaran, masalah pengendalian perilaku di dalam kelas, meningkatkan perilaku sosial dan keterampilan fungsional , mempromosikan pengelolaan diri, dan pelatihan guru.

  1. Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah proses membantu orang mendapatkan kembali fungsi normal setelah cedera atau trauma, seperti cedera kepala dari kecelakaan atau kerusakan otak dari stroke. Modifikasi perilaku digunakan untuk mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sesuai dengan rutinitas rehabilitasi seperti terapi fisik, mengajarkan keterampilan baru yang dapat menggantikan keterampilan yang hilang karena cedera atau trauma, mengurangi masalah perilaku, membantu mengelola sakit kronis, dan meningkatkan kinerja memori (Bakke et al., 1994; Davis & Chittum, 1994; O’Neill & Gardner, 1983).

  1. Komunitas Psikologi

Dalam psikologi masyarakat, intervensi perilaku dirancang untuk mempengaruhi perilaku banyak orang dengan cara yang menguntungkan semua orang. Beberapa target intervensi perilaku masyarakat termasuk mengurangi sampah, peningkatan daur ulang, mengurangi konsumsi energi, mengurangi berkendara yang tidak aman, mengurangi penggunaan narkoba ilegal, meningkatkan penggunaan sabuk pengaman, mengurangi parkir ilegal di tempat yang tidak seharusnya, dan mengurangi kecepatan dalam berkendara (Cope & Allred, , 1991; Geller & Hahn, 1984; Ludwig & Geller, 1991; Van Houten & Nau, 1981).

  1. Psikologi Klinis

Dalam psikologi klinis, prinsip-prinsip psikologis dan prosedur dipergunakan untuk membantu orang dengan masalah pribadi. Biasanya, psikologi klinis melibatkan individu atau terapi kelompok yang dilakukan oleh seorang psikolog. Modifikasi perilaku dalam psikologi klinis, yang sering disebut terapi perilaku, telah diterapkan untuk membantu mengurangi berbagai masalah manusia (Hersen & Bellack, 1985; Hersen & Van Hasselt, 1987; Turner, Calhoun, & Adams, 1981). Prosedur modifikasi perilaku juga telah digunakan untuk melatih para psikolog klinis (Veltum & Miltenberger, 1989).

  1. Bisnis, Industri, dan Jasa Manusia

Penggunaan modifikasi perilaku dalam bidang ini disebut modifikasi perilaku organisasi atau manajemen perilaku organisasi (Frederickson, 1982; Luthans & Kreitner, 1985; reid et al., 1989; Stajkovic & Luthans, 1997). Prosedur modifikasi perilaku telah digunakan untuk meningkatkan prestasi kerja dan keselamatan kerja dan untuk memperkecil keterlambatan, ketidakhadiran, dan kecelakaan di tempat kerja. Prosedur modifikasi perilaku telah digunakan untuk meningkatkan penampilan pengawas kerja. Penggunaan modifikasi perilaku dalam bisnis dan industri telah menghasilkan peningkatan produktivitas dan keuntungan bagi organisasi dan meningkatkan kepuasan kerja bagi para pekerja.

  1. SelfManagement

Orang-orang menggunakan prosedur modifikasi perilaku untuk mengelola perilaku mereka sendiri. Mereka menggunakan prosedur pengelolaan diri untuk mengontrol kebiasaan pribadi, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, perilaku profesional, dan masalah-masalah pribadi (Brigham, 1989; Epstein, 1996; Watson & Tharp, 1993, Yates, 1986).

  1. Manajemen Anak

Orangtua dan guru dapat menggunakan prosedur modifikasi perilaku untuk membantu anak-anak mengatasi perilaku mengompol, menggigit kuku, marah-marah, ketidakpatuhan, perilaku agresif, perilaku buruk, gagap, dan lainnya (Watson & Gresham, 1998).

  1. Hal-hal yang berhubungan dengan Pencegahan

Prosedur modifikasi perilaku telah diterapkan untuk mencegah masalah dalam masa kanak-kanak (Robert & Peterson, 1984). Aplikasi lain dari modifikasi perilaku di bidang pencegahan termasuk di dalamnya pencegahan pelecehan seksual, penculikan anak, kecelakaan di rumah, pelecehan anak, perilaku mengabaikan anak, dan penyakit menular seksual (Carroll, Miltenberger, & O’Neill, 1992; Montesinos, Frisch, Greene , & Hamilton, 1990; Poche, Yoder, & Miltenberger, 1988). Mencegah masalah dalam masyarakat dengan modifikasi perilaku merupakan salah satu aspek dari psikologi masyarakat

  1. Sports Psychology (Psikologi olahraga)

Modifikasi perilaku digunakan secara luas dalam bidang psikologi olahraga (Martin & Hrycaiko, 1983). Prosedur modifikasi perilaku telah digunakan untuk meningkatkan kinerja atletik dalam berbagai macam olahraga selama latihan dan dalam pertandingan (Brobst & Ward, 2002; Hume & Crossman, 1992; Kendall, Hrycaiko, Martin, & Kendall, 1990; Wolko, Hrycaiko, Martin , 1993; Zeigler, 1994).

  1. Perilaku yang berhubungan dengan kesehatan

Prosedur modifikasi perilaku digunakan untuk mempromosikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan dengan meningkatkan gaya hidup sehat (seperti olahraga dan nutrisi yang baik) dan mengurangi perilaku yang tidak sehat (seperti merokok, minum, dan makan berlebihan). Prosedur modifikasi perilaku juga digunakan untuk memperkenalkan perilaku yang memiliki pengaruh positif terhadap fisik atau masalah-masalah medis seperti sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan gangguan gastrointestinal

  1. Gerontology (Ilmu mengenai usia lanjut)

Prosedur modifikasi perilaku diterapkan di panti jompo dan fasilitas perawatan lain untuk membantu mengelola perilaku orang lanjut usia (Hussain, 1981; Hussain & Davis, 1985). Prosedur modifikasi perilaku digunakan untuk membantu orang usia tua sehubungan dengan penurunan kemampuan fisik mereka, untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah jompo, untuk memperkenalkan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan dan interaksi sosial yang tepat, dan untuk mengurangi masalah perilaku yang mungkin timbul dari penyakit Alzheimer, jenis lain demensia, atau tuntutan kelembagaan (Carstensen & Erickson, 1986; Stock & Milan, 1993).

Modifikasi Tingkah Laku Anak

MODIFIKASI TINGKAH LAKU ANAK

 Pengertian

Modifikasi perilaku adalah suatu bentuk perubahan karena adanya upaya modifikasi. Modifikasi perilaku dapat diartikan sebagai:

  1. Upaya, proses, atau tindakan untuk mengubah perilaku
  2. Aplikasi prinsip-prinsip belajar yg teruji secara sistematis untuk mengubah perilaku tidak adaptif menjadi perilaku adaptif
  3. Penggunaan secara empiris teknik-teknik perubahan perilaku untuk memperbaiki  perilaku  melalui  penguatan positif, penguatan  negatif,  dan  hukuman

Usaha untuk menerapkan  prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen pada manusia.

Pengertian lain Modifikasi Tingkah Laku:

Modifikasi perilaku secara umum dapat didefinisikan sebagai hampir segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Definisi yang tepat dari modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses blajar maupun prinsip-prinsip psikologis hasil eksperimen lain pada perilaku manusia (Bootzin, 1975). Powers & Osbon (1976) memberi batasan modifikasi perilaku sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku sosial tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan periaku tersebut.

Eysenk dalam Soetarlinah Soekadji (1983) menyatakan bahwa modifikasi perilaku adalah usaha untuk mengubah perilaku dan emosi manusia dengan cara yang menguntungkan berdasarkan hukum-hukum teori modern proses belajar. Wole (1973) memberi batasan tentang modifikasi perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif, kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan, perilaku adaptif ditimbulkan dan dikukuhkan.Ketiga definisi tersebut tampak bahwa mereka lebih menekankan pada penerapan teori dan hukum belajar pada modfikasi perilaku. Mereka berpendapat bahwa mengubah perilaku baru disebut modifikasi perilaku bila teknik kondisioning diterapkan secara ketat: tanggapan (respons), konsekuensi (akibat), dan stimulus (perangsang) didefinisikan secara objektif dan dicatat secara cermat.

Karakteristik atau ciri-ciri modifikasi perilaku:

  1. Fokus Pada Perilaku: Prosedur modifikasi perilaku dirancang untuk mengubah perilaku, bukan karakteristik atau ciri pribadi. Modifikasi perilaku memberikan penekanan pada pelabelan. Sebagai contoh, modifikasi perilaku tidak digunakan untuk mengubah autisme (label); lebih tepatnya, modifikasi perilaku digunakan untuk mengubah perilaku bermasalah yang ditunjukkan oleh anak-anak autistik. Dalam modifikasi perilaku, perilaku yang harus dimodifikasi disebut perilaku target. Sebuah perilaku yang tidak diinginkan adalah perilaku target yang perlu untuk diturunkan secara frekuensi, durasi, atau intensitas. Merokok adalah perilaku yang berlebihan, belajar, merupakan perilaku yang diinginkan dan harus ditingkatkan.
  2. Prosedur didasarkan pada prinsipprinsip perilaku. Modifikasi perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip dasar yang pada dasarnya berasal dari penelitian eksperimental dengan menggunakan binatang (Skinner, 1938).
  3. Menekankan pada peristiwa lingkungan saat ini. Modifikasi perilaku melibatkan penilaian dan modifikasi peristiwa-peristiwa lingkungan yang secara fungsional berhubungan dengan perilaku. Perilaku manusia dikendalikan oleh peristiwa-peristiwa di lingkungan, dan tujuan dari modifikasi perilaku adalah mengidentifikasi peristiwa-peristiwa itu. Sebagai contoh, seseorang mungkin mengatakan bahwa anak dengan gangguan autist terlibat dalam perilaku bermasalah (seperti menjerit, memukul dirinya sendiri, menolak untuk mengikuti petunjuk) karena anak ini adalah anak autis. Dengan kata lain, orang itu menunjukkan bahwa autisme menyebabkan anak terlibat dalam perilaku bermasalah. Namun sebenarnya, autisme hanyalah sebuah label yang menggambarkan pola perilaku anak. Label itu tidak bisa menjadi penyebab dari sebuah perilaku, karena dalam label tidak terdapat entitas fisik maupun kejadian-kejadian tertentu. Penyebab perilaku harus dapat ditemukan di lingkungan (termasuk di dalamnya keadaan biologis anak).
  4. Deskripsi yang tepat mengenai prosedur modifikasi perilaku (Baer et al., 1968). Prosedur modifikasi perilaku melibatkan perubahan tertentu dalam peristiwa lingkungan yang secara fungsional berhubungan dengan perilaku. Supaya prosedur efektif ketika digunakan, harus melalui perubahan kejadian di lingkungan secara spesifik, dengan menggambarkan prosedur yang tepat, peneliti dan profesional lain membuatnya lebih memungkinkan prosedur dapat digunakan dengan benar setiap saat.
  5. Pengubahan dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan sehari-hari (Kazdin, 1994). Prosedur modifikasi perilaku yang dikembangkan oleh para profesional yang terlatih dalam bidang modifikasi perilaku. Namun, prosedur modifikasi perilaku sering dan tidak jarang dilakukan oleh orang-orang seperti guru, orang tua, pengawas kerja, atau orang yang bekerja dalam bidang lain untuk membantu pengubahan perilaku. Orang-orang yang melaksanakan prosedur modifikasi perilaku harus melakukannya hanya setelah menerima pelatihan yang memadai. Deskripsi yang tepat mengenai prosedur, serta pengawasan dari para profesional lebih memungkinkan bagi orangtua, guru, dan profesi lain untuk menerapkan prosedur pengubahan perilaku dengan benar.
  6. Pengukuran Perubahan Perilaku. Salah satu keunggulan dari modifikasi perilaku adalah penekananya pada pengukuran dimensi perilaku sebelum dan sesudah intervensi (perlakuan) untuk mendokumentasikan perubahan perilaku yang dihasilkan dari prosedur modifikasi perilaku. Penilaian yang berkelanjutan dari perilaku yang dilakukan di luar titik intervensi baik untuk dilakukan, karena bisa digunakan untuk menentukan apakah perubahan perilaku dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
  7. Mengurangi penekanan pada peristiwa masa lalu sebagai penyebab terjadinya suatu perilaku. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa perilaku bisa terjadi karena adanya pengaruh lingkungan. Pengaruh ini bisa terjadi saat ini atau di masa lalu. Namun, untuk kejadian lingkungan yang terjadi di masa lalu, tidak bisa dijadikan patokan utama penyebab terjadinya perilaku. Karena, berbeda dengan kejadian lingkungan saat ini, kejadian lingkungan di masa lalu merupakan sesuatu yang telah lewat, sehingga tidak mungkin untuk berubah.
  8. Menolak hipotesis yang mendasari terjadinya perilaku. Meskipun beberapa bidang psikologi, seperti pendekatan psikoanalitik Freudian, mungkin tertarik dalam hipotesis penyebab perilaku, misalnya Oedipus complex, modifikasi perilaku menolak adanya hipotesis yang mendasari terjadinya perilaku. Perkiraan mengenai hal-hal yang mungkin menjadi penyebab suatu perilaku tidak dapat diukur atau dimanipulasi untuk menunjukkan hubungan fungsional terhadap perilaku mereka.

Modifikasi perilaku mengkategorikan apakah suatu perilaku sebagai berlebihan atau kekurangan merupakan langkah yang mutlak, sehingga dapat dipahami secara pasti mana perilaku yang termasuk excesses atau berlebihan dan akan dikurangi atau yang termasuk deficit atau berkekurangan dan akan ditingkatkan. Identifikasi ini harus dilihat dalam konteks di mana perilaku tersebut muncul. Behavioral exceses adalah perilaku target yang negatif (tidak layak) yang ingin dikurangi frekuensi, durasi, atau  intensitasnya. Termasuk perilaku ini misalnya:

  1. Perilaku anak yang selalu mengomentari orang lain, mengejek, berlama-lama ngobrol menggunakan telepon.
  2. Perilaku anak yang tidak bisa diam, seperti keluar masuk rumah, naik turun tangga, membuang pakaian ke lantai.
  3. Perilaku anak yang selalu mengganti chanel atau berlama-lama duduk di depan TV, dsb.

Dalam kasus anak autis, perilaku berlebihan ini tampak misalnya pada perilaku stimulasi diri (menatap jari jemari, mengepak-ngepak tangan), self-abuse (memukul menggigit, mencakar diri sendiri), tantrum (menjerit, mengamuk), atau agresif (menendang, memukul,mencubit, menggigit orang lain).  Sedangkan Behavioral deficit adalah aladah target perilaku yang positif (lanyak) yang ingin ditingkatkan frekuensi, durasi, atau intensitasnya. Termasuk dalam perilaku yang kurang, misalnya:

  1. Anak yang tidak dapat menghitung atau menjumlahkan angka-angka dengan tepat.
  2. Siswa yang tidak pernah mengerjakan tugas-tugas sekolah
  3. Siswa yang selalu melanggar aturan dan tatatertib sekolah
  4. Siswa yang sering melakukan pencurian, suka merokok, dsb.

Pada kasus anak autis, termasuk perilaku yang berkekurangan ini misalnya tidak mau atau sedikit bicara, secara sosial cenderung mengganggap orang lain sebagai benda atau bahkan tidak ada, ketika bermain hanya senang memutar roda mobil-mobilan, tidak mau merespon stimulus dari lingkungan, sehingga sering disangka tuli-buta, kehidupan emosinya yang datar (misal, hanya bengong ketika dikelitiki), dsb.

Modifikasi perilaku juga menekankan pengaruh belajar dan lingkungan, artinya bahwa prosedur dan teknik tritmen menekankan pada modifikasi lingkungan tempat dimana individu tersebut berada, sehingga membantunya dalam berfungsi secara lebih baik dalam masyarakat. Lingkungan tersebut dapat berupa orang, objek, peristiwa, atau situasi yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap kehidupan seseorang. Mengikuti pendekatan ilmiah artinya bahwa penerapan modifikasi perilaku memakai prinsip-prinsip dalam psikologi belajar, dengan penempatan orang, objek, situasi, atau peristiwa sebagai stimulus, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sedangkan menggunakan metode-metode aktif dan pragmatik untuk mengubah perilaku maksudnya bahwa dalam modifikasi perilaku lebih mengutamakan aplikasi dari metode atau teknik-teknik yang telah dikembangkan dan mudah untuk diterapkan.

Belajar Sebagai Proses komunikasi

Belajar Sebagai Proses Komunikasi

Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima pesan melalui saluran atau media tertentu. Dalam pembelajaran, pesan atau informasi yang disampaikan dapat berupa pengetahuan, keahlian, ide, pengalaman, atau isi ajaran yang ada dalam kurikulum. Sumber pesan bisa guru, siswa, orang lain, atau siapapun. Salurannya adalah media pendidikan dan penerima pesan adalah siswa atau juga bisa guru. Melalui proses komunikasi, agar tidak terjadi kesalahan dalam proses penyampaian pesan, perlu digunakan sarana yang dapat membantu proses komunikasi. Dalam pembelajaran di kelas, sarana/fasilitas yang digunakan untuk memperlancar proses pembelajaran disebut dengan media pembelajaran.

Pesan berupa isi ajaran dan didikan yang ada dikurikulum dituangkan oleh guru atau sumber lain ke dalam simbol-simbol komunikasi baik simbol verbal maupun simbol non-verbal atau visual. Proses perenungan pesan ke dalam simbol-simbol komunikasi itu disebut encoding. Selanjutnya penerima pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut disebut dengan decoding. Encoding adalah kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan lambang-lambang yang akan digunakan dalam kegiatan komunikasi oleh komunikator (oleh guru dalam kegiatan pembelajaran). Syarat yang harus diperhatikan dalam “encoding”: Dapat mengungkapkan pesan yang akan disampaikan, Sesuai dengan medan pengalaman audience atau penerima, sehingga memudahkan penerima didalam menerima isi pesan yang disampaikan.

Salah satu kemampuan profesional seorang guru adalah kemampuan melakukan kegiatan “encoding” dengan tepat, sehingga murid-murid memperoleh kemudahan di dalam menerima dan mengerti materi/bahan pelajaran yang merupakan pesan pembelajaran yang disampaikan guru kepada murid. Sedang kegiatan “decoding” adalah kegiatan dalam komunikasi yang dilaksanakan oleh penerima (audience, murid), dimana penerima berusaha menangkap makna pesan yang disampaikan melalui lambang-lambang oleh sumber melalui kegiatan encoding di atas.

Keberhasilan penerima dalam proses “decoding” ini sangat ditentukan oleh kepiawaian sumber dalam proses “encoding” yang dilakukan, yaitu dalam memahami latar belakang pengalaman, kemampuan, kecerdasan, minat dan lain-lain dari penerima. Adalah sama sekali keliru apabila di dalam proses komunikasi sumber melakukan proses “encoding” berdasarkan pada kemauan dan pertimbangan pribadi tanpa memperhatikan hal-hal yang terdapat pada diri penerima seperti yang sudah disebutkan di atas, yang dalam hal ini terutama adalah medan pengalaman mereka. Komponen dalam proses komunikasi:

  1. Pesan, dalam proses pembelajaran berupa materi pembelajaran
  2. Sumber pesan, dalam proses pembelajaran adalah guru
  3. Saluran atau media, alat bantu pembelajaran
  4. Penerima pesan, siswa (pembelajar)

Ada delapan keterampilan dasar mengajar, yaitu: (a) keterampilan bertanya, (b) memberi penguatan, (c) mengadakan variasi, (d) menjelaskan, (e) membuka dan menutup pelajaran, (f) membimbing diskusi kelompok kecil, (g) mengelola kelas, serta (h) mengajar kelompok kecil dan individual. Selain itu proses mengajar, perlu dilakukan pemberian tugas kepada siswa. Tugas dapat membuat proses belajar menjadi menyenangkan, efektif, dan efisien. Tugas dapat pula memberi kesempatan kepada siswa untuk menerima informasi baru, mengaplikasikan, menganalisis, bahkan mengevaluasi informasi tersebut. Manfaat lain dari pemberian tugas adalah menciptakan proses pembelajaran yang berpusat pada pembelajar. Ada tiga peran yang dapat dilakukan pengajar dalam rangka pemberian tugas:

  1. Pengajar sebagai perencana
  2. Pengajar sebagai fasilitator, motivator dan mediator
  3. Pengajar sebagai evaluator

Berikut ini beberapa teknik komunikasi pembelajaran yang efektif:

  1. Analisis peserat didik
  2. Kuasai peserta didik
  3. Menguasai materi pembelajaran
  4. Menguasai metode dan strategi pembelajaran yang efektif
  5. Menguasai media dan cara-cara menggunakannya
  6. Percaya diri dan jadi diri sendiri
  7. Bersikap humanis
  8. Enjoy dengan penampilan sendiri

 

  1. Proses penuangan pesan

Aktivitas yang dilakukan dalam penuangan pesan berupa materi pelajaran, adalah:

  1. mengenal pasti sumber-sumber pengetahuan yang akan disampaikan/dituangkan
  2. mempertimbangkan kelemahan dan kekuatan sumber (accurate)
  3. pesan dapat dituangkan dengan simbol-simbol komunikasi (verbal, non-verbal, visual, dan audio-visual)

Dalam proses penafsiran pesan, adakalanya berhasil dan tidak berhasil. Keberhasilan penafsiran terjadi karena kemampuan, keseriusan, kecepatan memahami pesan yang dilihat, didengar, dan diamati. Sedangkan kegagalan penafsiran pesan dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan, kurangnya keseriusan dalam menerima dan memahami pesan yang dilihat, didengar, dan diamati.

 

 

  1. Hambatan proses komunikasi dalam pembelajaran

Hambatan yang terjadi dalam proses komunikasi dapat berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).

  1. Hambatan internal, berasal dari diri siswa atau pembelajar itu sendiri. Dapat berupa hambatan psikologis (minat, sikap, pendapat, kepercayaan, intelegensi, pengetahuan, dll) dan hambatan fisik (kelelahan, sakit, keterbatasan daya indera, dan cacat tubuh).
  2. Hambatan eksternal, berasal dari lungkungan pembelajar. Dapat berupa hambatan kultural (adat-istiadat, kepercayaan, norma sosial, dan niali-nilai panutan) dan hambatan lingkungan (suasana yang panas, bising, dan berjubel).

 

  1. Mengatasi hambatan komunikasi dalam pembelajaran

Secara umum, hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan media pembelajaran di kelas dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan fungsi media pembelajaran yang digunakan untuk mempermudah proses belajar sehingga proses belajar dapat berjalan efektif dan efisien, dengan menggunakan media pembelajaran secara tepat, pengajar dapat mengatasi sikap pasif pembelajar. Maka fungsi media pembelajaran secara umum dalam proses pembelajaran sebagai berikut: Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas, Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera, Mengatasi sikap pasif peserta didik, Memberikan perangsang, pengalaman, dan persepsi belajar yang sama

Pembelajaran dapat melibatkan 2 pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator yang terpenting dalam kegiatan pembelajaran adalah terjadinya proses belajar. Sebab sesuatu dikatakan hasil belajar kalau memenuhi beberapa ciri berikut:

  1. Belajar sifatnya disadari, dalam hal ini siswa merasa bahwa dirinya sedang belajar, timbul dalam dirinya motivasi – motivasi untuk memiliki pengetahuan yang diharapkan sehingga tahapan tahapan dalam belajar sampai pengetahuan itu dimiliki secara permanen (retensi) betul betul disadari sepenuhnya.
  2. Hasil belajar diperoleh dengan  adanya proses, dalam hal ini pengetahuan diperoleh tidak secara spontanitas, instan namun bertahap (sequensial). Seorang anak bisa membaca tentu tidak diperoleh hanya dalam waktu sesaat namun berproses cukup lama, kemampuan membaca diawali dengan mengeja, mengenal huruf, kata dan kalimat. Seseorang yang tiba–tiba memiliki kecakapan seperti lari dengan kecepatan tinggi karena akibat doping, bukanlah hasil dari kegiatan belajar, namun efek dari obat atau zat kimia yang dikonsumsinya.
  3. Belajar membutuhkan interaksi, khususnya interaksi yang sifatnya manusiawi. Seorang siswa akan lebih cepat memiliki pengetahuan karena bantuan dari guru, pelatih atau instruktur. Dalam hal ini terjadi komunikasi dua arah antara siswa dan guru. Kaitannya bahwa belajar membutuhkan interaksi, hal ini membutuhkan bahwa proses pembelajaran merupakan proses komunikasi, artinya didalamnya terjadi proses penyampaian pesan dari seseorang (sumber pesan) kepada seseorang atau sekelompok orang (penerima pesan). Pesan yang dikirimkan biasanya berupa informasi atau keterangan dari pengirim (sumber) pesan. Pesan tersebut diubah dalam bentuk sandi-sandi atau lambang lambang seperti kata kata, bunyi – bunyi , gambar dan sebagainya. Melalui saluran (chanel) seperti radio, televisi, OHP, film, pesan diterima oleh si penerima pesan melalui indera (mata dan telinga) untuk diolah , sehingga pesan yang disampaikan oleh penyampai pesan dapat diterima dan dipahami oleh sipenerima pesan.

Komunikasi merupakan sistim yang didalamnya terdapat beberapa komponen yang terlibat, diantaranya komunikator, komunikan, chanel, message, feedback dan noise/barier. Pesan yang disampaikan komunikator diteruskan oleh saluran atau chanel sampai ke komunikan sebagai penerima pesan. Dipahami atau tidaknya sebuah pesan oleh komunikan tergantung dari feedback yang diberikan oleh komunikan. Feedback positif menunjukkan bahwa pesan dipahami dengan baik, sebaliknya feedback negatif menunjukkan pesan mungkin saja tidak diphami dengan benar. Untuk membantu penyampaian pesan ini diperlukan saluran berupa media pembelajaran. 

Faktor yang menyebabkan pesan tidak dipahami dengan baik karena adanya noise dan barier atau hambatan dan gangguan, noise ini dapat dialami komunikator, bisa terjadi pada komunikan, pada pesan juga pada chanel. Misalnya siswa tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh guru karena kondisi perut sedang sakit, berarti gangguan pada komunikan, siswa tidak menerima materi dengan jelas karena saat itu sedang ada pembangunan sehingga suasana berisik mengganggu pendengaran, hal ini salurannya yang terganggu. Guru tidak antusias, tidak bergairah dalam mengajar sehingga siswa kurang mengerti apa yang diterangkan gurunya karena guru tersebut sedang ada masalah keluarga, hal ini gangguan pada komunikator. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas sebuah komunikasi:

  1. Kemampuan berkomunikasi
  2. Sikap dan pandangan penyampai pesan kepada penerima pesan
  3. Tingkat pengetahuan
  4. Latar belakang sosial budaya dan ekonomi

 

Dalam proses pembelajaran itu terdapat pesan pesan yang harus dikomunikasikan. Pesan tersebut biasanya berisi materi dari suatu topik pembelajaran.  Pesan pesan tersebut disampaikan oleh guru kepada siswa melalui suatu media dengan menggunakan prosedur pembelajaran tertentu yang disebut metode.

Kegiatan komunikasi juga dilakukan atau diperlukan oleh manusia karena manusia tidak dapat selamanya memperoleh pengalaman langsung (firsthand experiences) didalam hidupnya karena adanya keterbatasan dalam waktu, biaya, sarana dan prasarana dan sebagainya. Oleh sebab itu seringkali kita hanya dapat memperolehnya melalui pengalaman tidak langsung (secondhand atau vicarious experiences) yang kita dapatkan dengan jalan membaca, mendengar, melihat gambar dan sebagainya. Masih ada kegunaan komunikasi yang lain bagi kehidupan manusia yaitu untuk mewariskan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sudah dimiliki manusia dalam satu generasi ke generasi berikutnya dan dengan demikian sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia itu sendiri.

Proses belajar-pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu proses komunikasi dengan pengertian bahwa pesan pembelajaran yang disampaikan oleh guru dapat diterima (diserap) dengan baik atau dapat dikatakan menjadi “milik” murid-murid. Schramm mengingatkan bahwa untuk dapat mencapai “sharing” antara sumber dan penerima atas pesan yang disampaikan, perlu adanya keserupaan atau kemiripan medan pengalaman sumber dan medan pengalaman penerima. Ini dimaksudkan agar lambang yang digunakan oleh sumber benar-benar dapat dimengerti oleh murid-murid (penerima), karena sumber dan penerima mempunyai medan pengalaman yang serupa atau hampir sama. Apabila lambang yang digunakan sumber terlalu sulit bagi daya tangkap penerima, maka sharing yang diinginkan jauh dari tercapai.

Guru haruslah selalu menyadari akan hal ini, yaitu bahwa didalam melaksanakan kegiatan belajar dan pembelajaran, sesungguhnya dia sedang melaksanakan kegiatan komunikasi. Oleh karenanya guru harus selalu memilih dan menggunakan kata-kata yang berada dalam jangkauan/medan pengalaman murid-muridnya, agar dapat dimengerti oleh mereka, sehingga pesan pembelajaran yang disampaikan dapat di-shared (diterima, dimiliki) oleh murid-murid dengan baik. Hal ini lebih-lebih lagi sangat berlaku apabila guru atau instruktur menggunakan metode ceramah (lecture method) dalam pembelajaran.

Harus selalu disadari para guru bahwa kegiatan komunikasi atau pembelajaran yang dilakukan adalah kegiatan yang hanya memberikan pengalaman tidak langsung (vicarious experiences) kepada murid-murid, karena menggunakan lambang-lambang (terutama lambang verbal) untuk menyampaikan pesan pembelajaran. Sebab itu lambang verbal yang bersifat amat abstrak yang digunakan harus digunakan dengan ekstra hati-hati, diantaranya dengan memilih lambang verbal yang dapat dipastikan dapat dimengerti dengan baik oleh murid-murid, sehingga dapat diterima dan di-shared antara guru dan murid dengan sebaik-baiknya